Pada awal perkembangan Islam di
Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan; baik kegiatan
keagamaan, sosial kemasyarakatan, termasuk kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan
pendidikan yang berlangsung di masjid dan masih bersifat sederhana kala itu
sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka tidak mengherankan apabila mereka
menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun
masyarakat muslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid mampu menampung kegiatan
pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun karena terbatasnya tempat dan
ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin
belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap hingga
berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai sarana
menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu.
Dari sinilah mulai muncul istilah surau, meunasah, dayah, dan juga pesantren.
A.
Surau
Istilah
surau sebagai lembaga pendidikan Islam muncul di Minangkabau, bahkan istilah
ini sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau
adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi
sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki
yang telah akil baligh dan orangtua yang uzur. Karena menurut ketentuan adat
Minangkabau bahwa laki-laki yang tak punya kamar di rumah orangtua mereka,
diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau memiliki peranan
penting dalam pendewasaan generasi Minangkabau; baik dari segi ilmu pengetahuan
maupun keterampilan praktis lainnya. [1]
Setelah
Islam datang, fungsi surau tidak berubah, hanya saja fungsi keagamaannya
semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syeikh Burhanuddin di
Ulakan, Pariaman. Pada masa itu, eksistensi surau di samping sebagai tempat
shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran
Islam, khususnya tarekat (suluk) yang dikenal dengan nama tarekat Sattariyah.
Melalui tarekat ini, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada
masyarakat luas di sekitar Minangkabau.
Semula,
lembaga pendidikan surau ini hanya mengajarkan metode membaca Al-Qur’an dan
beberapa ilmu Islam seperti aqidah, akhlak, dan ibadah. Waktunyapun
dilaksanakan pada malam hari dengan sistem halaqah. Namun secara bertahap
sesuai perkembangan zaman, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam
mengalami kemajuan, termasuk waktu pelaksanaan kegiatan belajar tidak lagi
hanya pada malam hari saja, tapi sudah dilakukan pada siang hari. Dan
sedikitnya ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
1. Pengajaran Al-Qur’an.
Untuk mempelajari Al-Qur’an ada dua
macam tingkatan, yakni:
a. Pendidikan Rendah, materi pelajaran
pada pendidikan rendah ini mencakup:
1)
pelajaran memahami ejaan huruf Al-Qur’an dan membaca
Al-Qur’an yang dilaksanakan dengan metode praktik dan latihan;
2) pelajaran cara berwudhu dan tata
cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal;
3) pelajaran tentang keimanan, terutama
yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan metode menghafal
melalui lagu.
4) pelajaran akhlak yang dilakukan
dengan metode cerita tentang Nabi-Nabi dan orang-orang shaleh.
b. Pendidikan Atas;
Materi pelajaran pada pendidikan
atas ini mencakup pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, kasidah, barzanji,
tajwid, dan kitab perukunan.
Lama pendidikan untuk kedua jenis
pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dapat dikatakan tamat
bila ia telah mampu menguasai setiap materi yang diajarkan dengan baik.
2. Pengajian Kitab.
Materi
pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu nahwu dan shorf, ilmu fikih, ilmu
tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Metode pengajarannya adalah dengan membaca
sebuah Kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, setelah
itu baru diterangkan maksudnya. Adapun penekanan pembelajaran pada jenjang ini
mengandalkan kekuatan hafalan. Maka agar siswa mampu menghafal dengan cepat,
metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu.
Sebagai
lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses
pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau
telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat
nasionalisme, terutama dalam mengusir penjajah Belanda. Namun, seiring
perkembangan zaman, metode pengajaran surau dianggap sudah ketinggalan zaman,
sehingga harus dimodernisasi. Maka tak heran, bila pendidikan surau saat ini sangat
sulit dijumpai.
B.
Meunasah
Istilah
meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikenal pada masyarakat Aceh.
Sebagian orang mengatakan bahwa istilah meunasah ini berasal dari kata Arab,
yaitu Madrasah.[2]
Meunasah secara fisik merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong
yang berbentuk seperti rumah panggung tetapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan
berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Sama seperti kebiasaan anak laki-laki di Minangkabau yang
tinggal di surau, maka para anak muda serta laki-laki yang belum menikah di
Aceh juga menjadikan meunasah sebagai tempat bermalam mereka. Sehingga tak
heran, bila setiap meunasah memfasilitas diri dengan beberapa rumah tinggal
yang terletak di sekitar meunasah dengan dilengkapi sumur, bak mandi, dan WC.
Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong, dididik dengan berbagai ilmu
pengetahuan agama dan kemasyarakatan.
Meunasah
dipimpin oleh seorang teungku meunasah. Biasanya, setiap kampung di Aceh
memiliki minimal satu meunasah. Gampong yang memiliki beberapa meunasah, tetap
dipimpin oleh satu teungku, sebagai pasangan dua sejoli dengan keuchik. Maksudnya,
walau dalam gampong terdapat beberapa meunasah, kedudukan keuchik dan teungku
meunasah tetap seperti ayah dan ibu (yah dan ma) yang memiliki tugas dan
wewenang masing-masing serta saling membantu satu sama lain.
Mengenai
peran meunasah, Syofwan Idris (2001) sebagaimana yang dikutip oleh Sulaiman
Tripa dalam artikel yang dimuat di http://www.acehinstitute.org menyebutkan
bahwa Meunasah sebenarnya bukan saja lembaga pendidikan tetapi merupakan
lembaga yang banyak sekali fungsinya dalam masyarakat gampong. Di sini orang
mengaji, berjama’ah, bermusyawarah, mengadili pencuri, mengadakan dakwah,
mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan dan tempat tidur anak muda yang belum
kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Dan lembaga seperti ini
memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual dan terpadu kepada
anak-anak. Sebenarnya dalam budaya adat Aceh, peran meunasah dan masjid
merupakan satu kesatuan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kedua lembaga ini
merupakan simbol/logo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya
membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang
monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan
nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat
membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan
penjajahan. Fungsi-fungsi itu antara lain :[3]
a. Fungsi Meunasah, sebagai tempat
ibadah/shalat berjamaah; dakwah dan diskusi;
musyawarah / mufakat ; penyelesaian sengketa / damai; pengembangan
kreasi seni; pembinaan dan posko generasi muda; forum asah terampil/olahraga;
serta sebagai pusat ibukota/pemerintahan gampong.
- Fungsi Mesjid, sebagai tempat ibadah/Jum`at; pengajian pendidikan; musyawarah/ penyelesaian sengketa/damai; dakwah; pusat kajian dan sebaran ilmu; acara pernikahan; serta sebagai simbol persatuan dan kesatuan umat.
Dari
poin-poin di atas menunjukkan bahwa fungsi meunasah dan masjid memiliki peran
yang sama, yakni sebagai lembaga pengkaderan dan pembinaan umat yang diharapkan
mampu melahirkan generasi serta masyarakat berkualitas guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang aman damai, baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur. Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, keberadaan meunasah sangat
mempunyai arti di Aceh. Semua orangtua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan
kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa
lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai
fanatisme agama yang tinggi. Dan bahkan hingga saat ini, eksistensi meunasah
tetap dipertahankan sebagai lembaga pendidikan Islam non formal.
Selain
meunasah, di Aceh juga sudah ada dan berkembang sejak lama lembaga pendidikan
Islam yang bernama “Dayah”. Dayah adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga
pendidikan Islam yang sama dan setara dengan pesantren. [4]
Dan sehubungan dengan kesamaan makna dan fungsi antara dayah dan pesantren,
maka untuk pembahasan mengenai “dayah” akan penulis rangkumkan dalam pembahasan
pesantren.
C.
Pesantren
Menurut
asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan
pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya
tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasojo bahwa Pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal,
dimana seorang kiayi mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad
pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam
pesantren tersebut. Bagi masyarakat Aceh, istilah pesantren lebih dikenal
dengan nama “dayah”.
Pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan memiliki akar sangat kuat
dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah
ada jauh sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu-Budha.
Pada saat itu pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi
mencetak elit agama Hindu-Budha. Sehingga dalam hal ini tak heran bila C.C.
Berg berpendapat bahwa istilah “santri” itu berasal kata India Shastri, berarti
orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli
kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang
berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Terlepas benar
tidaknya istilah tersebut, yang jelas kehadiran lembaga pendidikan pesantren
tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat Islam hingga saat ini, serta telah
menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi
masyarakat Indonesia. Bahkan dalam perspektif kependidikan, pesantren merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai arus modernisasi.
Dengan kata lain, pesantren dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga
pendidikan yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem
pendidikan modern yang bermunculan dari waktu ke waktu.
Bertitik
tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak
bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah
tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil
mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam
pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di
Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada
ajaran Walisongo. Kemudian seiring perkembangan zaman dan keilmuwan yang
dimiliki oleh para pendiri pesantren sesudahnya, maka corak pesantren-pesantren
di Indonesia mulai terlihat bervariasi.
Meski begitu, secara umum ciri-ciri
pesantren dapat kita lihat sebagai berikut:[5]
1. ada Kiyai, yang mengajar dan
mendidik;
- ada santri, yang belajar dari kiyai;
- ada masjid, tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya; dan
- ada pondok, tempat untuk tinggal para santri.
Di
samping ciri-ciri di atas, ada juga pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas
pendukung lainnya, seperti sarana olahraga dan ruang keterampilan dan
pelatihan, yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pesantren
itu sendiri. Mengenai materi pelajaran dan metode pengajaran, biasanya
pesantren mengajarkan kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning), materi
tersebut mencakup pelajaran Al-Qur’an, tajwid serta tafsir, aqa’id dan ilmu
kalam, fiqih dan ushul fiqh, hadits dan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan
ilmu-ilmu qawaidhnya, tarikh, mantiq dan tasawuf. Dan metode yang digunakan
adalah metode ceramah, hafalan, bahkan ada juga yang menggunakan sistem
klasikal dengan metode pembelajaran yang bervariasi. Di beberapa pesantren, ada
yang selain memberikan pelajaran dan pendidikan agama, juga memberikan wiridan,
seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, dan lain-lain. Ada pula yang menambahkan
kegiatan-kegiatan di luar pendidikan formal, seperti pramuka, ketrampilan,
olahraga dan sebagainya, sesuai kemampuan masing-masing pondok pesantren. Meski
begitu, satu hal yang sama dari pondok-pondok pesantren tersebut adalah pada
penekanan pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang menjadi ciri khas dari
pesantren tersebut.
Selain
itu, ada beberapa ciri dan keunikan yang sangat menonjol dalam kehidupan
pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Sedikitnya
ada delapan ciri pendidikan pesantren tersebut, yaitu:[6]
1. Adanya hubungan yang akrab antara
santri dan kiayi.
- Tunduknya santri kepada kiyai.
- Hidup hemat dan sederhana.
- Semangat hidup mandiri.
- Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
- Penekanan pada pendidikan disiplin.
- Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
- Santri memperoleh kehidupan agama yang baik.
[1] Abudin Nata. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta : Grasinfo. 2001).
[2] Sulaiman Tripa. Meunasah,
Ruang Serbaguna Masyarakat Aceh. (www.acehinstitute.org,
diakses tanggal 14 Juni 2011).
[3] Sulaiman Tripa. Meunasah,
Ruang Serbaguna Masyarakat Aceh. (www.acehinstitute.org,
diakses tanggal 14 Juni 2011).
[4] Zahrul Bawady Daud. Dayah
bukan institute alternatif. (http://id.acehinstitute,
diakses tanggal 14 Juni 2011).
[5] ARief Subhan. Mencari Titik
Tolak : Asal Usul Pesantren. (Ciputat : Jurnal Madrasah Vol 2, 1999).
[6] Sri Haningsih. Persan
Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Jurnal
Pendidikan Islam El Tarbawi. 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar